Kamis, 21 Oktober 2010

konflik antar budaya

Konflik dalam kehidupan sehari hari merupakan sesuatu hal yang mendasar dan esensial. Dalam organisasi , konflik mempunyai kekuatan yang dapat membangun kinerja staff, karena adanya variable yang bergerak bersamaan secara dinamis.
Dalam hal ini, konflik merupakan suatu proses yang wajar terjadi dalam suatu organisasi atau masyarakat.

Banyak dari kita yang menganggap konflik adalah hal yang buruk. Tidaklah demikian.

Ada dua jenis konflik yang terjadi, dengan mempelajari akan membantu anda menangani konflik dengan lebih baik.

Konflik & Kerjasama di tempat kerja

Sebuah topik yang menarik banyak perhatian di tempat kerja adalah konflik; bagaimana terjadi, menghindari, dan menanganinya. Jarang ada organisasi yang tidak menghadapi isu konflik, dan bagaimana menanganinya sehingga memberikan hasil yang positif daripada pertikaian.

Pada artikel ini, kita akan melihat beberapa elemen penting dalam konflik, bagaimana terjadi dari waktu ke waktu dan memberikan beberapa strategi umum untuk mengatasinya.

Dua Jenis Konflik

Di tempat kerja, anda biasa menemukan dua jenis konflik. Yang pertama adalah konflik mengenai keputusan, ide, arahan dan tindakan. Kita menyebutnya dengan "substantive conflict" karena terkait dengan ketidaksetujuan mengenai substansi sebuah isu. Bentuk kedua adalah, "personalized conflict" yang sering disebut dengan konflik pribadi. Dalam bentuk ini, kedua belah pihak "tidak saling menyukai ".

Substantive Conflict

Substantive conflict dapat terjadi di isu apapun, namun pergerakan kekuatannya adalah kedua belah pihak tidak setuju terhadap sebuah isu. Ini dapat berarti hal yang baik atau buruk. Pihak yang menangani konflik dengan baik dapat menciptakan, untuk dirinya sendiri atau sekelilingnya, kemampuan untuk memecahkan sebuah isu dengan kreatif, sesuatu yang lebih baik daripada posisi pihak lainnya. Mari kita lihat contohnya.

Terjadi konflik antara manajer cabang dan staf mengenai jam kerja. Manajer cabang menginginkan semua staf bekerja dengan jam yang standar, dimulai pk. 8.00 sehingga pelanggan mendapatkan layanan pertama kali di pagi hari. Seorang staf menginginkan dimulai pukul 9.00, karena dia bertanggung jawab merawat anaknya. Di beberapa kesempatan, staf tersebut terlambat datang, yang menurut manajer, karyawan tersebut tidak bersedia mematuhi peraturan.

Untuk menenangkan situasi, kedua pihak mencoba memahami situasi, bukan salah satu menjadi pemenang, namun dalam sudut pandang memecahkan masalah. Setelah membahas situasi yang ada, (dan memahami kebutuhan masing-masing), mereka menyadari bahwa a) hampir tidak ada pelanggan yang datang di pagi hari, b) tidak banyak pekerjaan yang dilakukan oleh staff yang datang pk. 8:00, dan c) banyak pelanggan yang menelpon antara pk 4:00 dan 5:00 sore. Kedua pihak setuju untuk merubah jam kerja. Hasilnya: karyawan yang senang dan memberikan layanan yang lebih baik.

Konflik Pribadi

Ketika substantive konflik, jika ditangani dengan benar, dapat menjadi sangat produktif, konflik pribadi sama sekali bukan hal yang baik. Ada beberapa alasan. Pertama, konflik pribadi dipicu oleh emosi (biasanya kemarahan, tekanan) dan persepsi atas kepribadian, karakter atau maksud orang lain. Kedua, karena konflik pribadi adalah masalah emosi dan bukan isu, maka pemecahan masalah hampir tidak berguna, karena kedua belah pihak tidak sungguh-sungguh ingin memecahkan masalah. Ketiga, konflik peribadi akan memburuk dari waktu ke waktu , jika tidak dirubah menjadi substantive conflict..

Mari kita lihat contoh sebelumnya, namun dengan situasi penanganan yang berbeda.

Ketika manajer cabang melakukan pendekatan pada staf karena tidak disiplin, dia menunjukkan kekesalan. Sedangkan staf, yang merasa ditekan, menganggap manajer tidak adil, semena-mena dan defensif. Hal ini, akan mengakibatkan manajer "meletakkan hukum".Setelah berdiskusi, manajer merasa stafnya adalah orang yang malas dan hanya mencari-cari alasan, sementara staf merasa boss akan menyingkirkannya.

Tentu saja situasi kian memburuk. Bahkan ketika staf terlambat beberapa menit, dengan alasan yang masuk akal, bos akan menemuinya seolah telah melakukan kesalahan yang besar. Staf marah, tertekan dan mulai menghabiskan waktu break yang lebih panjang dan sering ijin „sakit".

konflik adalah sesuatu yang hampir tidak mungkin bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat. Selama masyarakat masih memiliki kepentingan, kehendak, serta cita-cita konflik senantiasa “mengikuti mereka”. Oleh karena dalam upaya untuk mewujudkan apa yang mereka inginkan pastilah ada hambatan-hambatan yang menghalangi, dan halangan tersebut harus disingkirkan. Tidak menutup kemungkinan akan terjadi benturan-benturan kepentingan antara individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok. Jika hal ini terjadi, maka konflik merupakan sesuatu yang niscaya terjadi dalam masyarakat.

Konflik antarbudaya ataupun multidimensional yang sering muncul dan mencuat dalam berbagai kejadian yang memprihatinkan dewasa ini bukanlah konflik yang muncul begitu saja. Akan tetapi, merupakan akumulasi dari ketimpangan–ketimpangan dalam menempatkan hak dan kewajiban yang cenderung tidak terpenuhi dengan baik. Konflik merupakan gesekan yang terjadi antara dua kubu atau lebih yang disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, kelangkaan sumber daya, serta distribusi yang tidak merata, yang dapat menimbulkan deprifasi relative1 di masyarakat. Konflik dan kehidupan manusia tidak mungkin untuk dapat dipisahkan dan keduanya berada bersama-sama karena perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan keterbatasan sumber daya itu memang pasti ada dalam masyarakat. Konflik akan selalu kita dijumpai dalam kehidupan manusia atau kehidupan masyarakat sebab untuk memenuhi kebutuhan hidupnya manusia melakukan berbagai usaha yang dalam pelaksanaannya selalu dihadapkan pada sejumlah hak dan kewajiban. Jika hak dan kewajiban tidak dapat terpenuhi dengan baik, maka besar kemungkinan konflik terjadi.

Istilah konflik itu sendiri seringkali mengandung pengertian negatif, yang cenderung diartikan sebagai lawan kata dari pengertian keserasian, kedamaian, dan keteraturan. Konflik seringkali diasosiasikan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Pandangan yang sempit mengenai

Konflik yang demikian, tidak mudah untuk diubah. Munculnya budaya “mencegah konflik”, “meredam konflik” dan anggapan bahwa berkonflik adalah “berkelahi” bukanlah sesuatu yang relevan untuk kondisi saat ini. Konflik bukanlah sesuatu yang dapat dihindari atau disembunyikan, tetapi harus diakui keberadaannya, dikelola, dan diubah menjadi suatu kekuatan bagi perubahan positif.

Konflik perlu dimaknai sebagai suatu jalan atau sarana menuju perubahan masyarakat. Keterbukaan dan keseriusan dalam mengurai akar permasalahan konflik dan komunikasi yang baik dan terbuka antarpihak yang berkepentingan merupakan cara penanganan konflik yang perlu dikedepankan. Adanya data dan informasi yang jujur dan dapat dipahami oleh semua pihak yang berkepentingan merupakan syarat bagi terjalinnya komunikasi di atas. Keragaman budaya yang ada bisa juga berarti keragaman nilai-nilai. Keragaman nilai bangsa kita seharusnya dipandang sebagai modal bangsa, bukan sebagai sumber konflik. Interaksi lintas budaya yang apresiatif dan komunikatif dapat melahirkan proses sintesa–sintesa budaya. Budaya yang universal yang lebih dapat menaungi komunitas yang lebih besar, ataupun berkembanganya suatu sistem nilai (budaya) tertentu sebagai akibat “sentuhan–sentuhan” dengan sistem nilai (budaya) tertentu, adalah sesuatu yang kita harapkan.

Kenyataan sejarah manusia dipenuhi oleh fakta-fakta pertentangan kepentingan. Kematangan sebuah komunitas atau masyarakat sangat ditentukan oleh bagaimana elemen-elemen atau unsur-unsurnya di dalam mengelola kepentingan–kepentingan yang muncul. Perlu disadari bahwa konflik dapat menciptakan perubahan. Konflik merupakan salah satu cara bagaimana sebuah keluarga, komunitas, perusahaan, dan masyarakat berubah. Konflik juga dapat mengubah pemahaman kita akan sesama, mendorong kita untuk memobilisasi sumber daya dengan model yang baru. Konflik membawa kita kepada klarifikasi pilihan–pilihan dan kekuatan untuk mencari penyelesaiannya.

Beberapa Model Penyelesaian Konflik

Setelah mengetahui penyebab terjadinya konflik, kini bisa dimulai untuk mencoba berbagai alternatif teoretis untuk menyelesaikan konflik yang tejadi. Secara umum, untuk menyelesaikan konflik dikenal beberapa istilah, yakni (1) pencegahan konflik; pola ini bertujuan untuk mencegah timbulnya kekerasan dalam konflik, (2) penyelesaian konflik; bertujuan untuk mengakhiri kekerasan melalui persetujuan perdamaian, (3) pengelolaan konflik; bertujuan membatasi atau menghindari kekerasan melalui atau mendorong perubahan pihak-pihak yang terlibat agar berperilaku positif; (4) resolusi konflik; bertujuan menangani sebab-sebab konflik, dan berusaha membangun hubungan baru yang relatif dapat bertahan lama di antara kelompok-kelompok yang bermusuhan, (5) transformasi konflik; yakni mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas, dengan mengalihkan kekuatan negatif dari sumber perbedaan kepada kekuatan positif.

Selain memahami istilah-istilah penyelesaian konflik tersebut, adalah juga penting untuk memahami; (1) tahapan konflik; (2) tahap penyelesaian konflik; dan (3) tiga asumsi penyelesaian konflik.12 Tahapan-tahapan konflik tersebut antara lain potensi oposisi atau keadaan pendorong, kognisi dan personalisasi, penyelesaian-penanganan konflik, perilaku konflik yang jelas, dan hasil. Untuk tahapan penyelesaian konflik adalah pengumpulan data, verifikasi, mendengar kedua belah pihah yang berkonflik, menciptakan kesan pentingnya kerjasama, negosiasi, dan menciptakan kerukunan.13 Sementara itu, asumsi-asumsi dalam penyelesaian konflik adalah (1) Kalah-Kalah; setiap orang yang terlibat dalam konflik akan kehilangan tuntutannya jika konflik terus berlanjut, (2) Kalah–Menang; salah satu pihak pasti ada yang kalah, dan ada yang menang dari penyelesaian konflik yang terjadi. Jika yang kalah tidak bisa menerima sepenuhnya, maka ada indikasi munculnya konflik baru; (3) Menang-Menang: dua pihak yang berkonflik sama-sama menang. Ini bisa terjadi jika dua pihak kehilangan sedikit dari tuntutannya, namun hasil akhir bisa memuaskan keduanya. Istilah ini lebih popular dengan nama win-win solution di mana kedua belah pihak merasa menang dan tidak ada yang merasa dirugikan.

Selain asumsi-asumsi di atas, juga perlu untuk mengetahui strategi- strategi untuk mengakhiri konflik. Setidaknya ada sepuluh strategi untuk mengakhiri konflik, yakni abandoning atau mening-galkan konflik, avoiding atau menghindari, dominating atau menguasai, obliging atau melayani, getting help atau mencari bantuan, humor atau bersikap humoris dan santai, postponing atau menunda, compromise atau berkompromi, integrating atau mengintegrasikan, problem solving atau bekerjasama menyelesaikan masalah.

Sementara itu, untuk menyelesaikan konflik, secara teoretis ada banyak sekali model, namun dalam tulisan ini hanya akan di sajikan beberapa model saja. Di antaranya adalah sebagai berikut.

Pertama, model penyelesaian berdasarkan sumber konflik. Dalam model ini, untuk bisa penyelesaian konflik dituntut untuk terlebih dahulu diketahui sumber-sumber konflik: apakah konflik data, relasi, nilai, struktural, kepentingan dan lain sebagainya. Setelah diketahui sumbernya, baru melangkah untuk menyelesaikan konflik. Setiap sumber masalah tentunya memiliki jalan keluar masing-masing sehingga menurut model ini, tidak ada cara penyelesaian konflik yang tunggal

Kedua, model Boulding. Model Boulding menawarkan metode mengakhiri konflik dengan tiga cara, yakni menghindar, menaklukkan, dan mengakhiri konflik sesuai prosedur. Menghindari konflik adalah menawarkan kemungkinan pilihan sebagai jawaban terbaik. Akan tetapi, harus diperhatikan bahwa ini hanya bersifat sementara agar kedua pihak dapat memilih jalan terbaik mengakhiri konflik. Menaklukkan adalah pengerahan semua kekuatan untuk mengaplikasikan strategi perlawanan terhadap konflik. Mengakhiri konflik melalui prosedur rekonsiliasi atau kompromi adalah metode umum yang terbaik dan paling cepat mengakhiri konflik.

Ketiga, model pluralisme budaya. Model pluralisme budaya, dapat membantu untuk melakukan resolusi konflik. Misalnya, individu atau kelompok diajak memberikan reaksi tertentu terhadap pengaruh lingkungan sosial dengan mengadopsi kebudayaan yang baru masuk. Inilah yang kemudian disebut sebagai asimilasi budaya. Selain asimilasi, faktor yang bisa membuat kita menyelesaikan konflik adalah akomodasi. Dalam proses akomodasi, dua kelompok atau lebih yang mengalami konflik harus sepakat untuk menerima perbedaan budaya, dan perubahan penerimaan itu harus melalui penyatuan penciptaan kepentingan bersama.

Keempat, model intervensi pihak ketiga. Dalam model ini ada beberapa bentuk, yakni coercion, arbitrasi, dan mediasi. Coercion adalah model penyelesaian konflik dengan cara paksaan, di mana masing-masing pihak dipaksa untuk mengakhiri konflik. Arbitrasi adalah penyelesaian konflik dengan cara mengambil pihak ketiga untuk memutuskan masalah yang terjadi, dan keputusan pihak ketiga harus dipatuhi oleh masing-masing pihak. Sementara itu, mediasi berarti pihak ketiga hanya berfungsi untuk menjembatani penyelesaian konflik yang terjadi dalam masyarakat.16

Keempat hal di atas hanyalah sebagian dari berbagai model penyelesaian konflik yang ada. Masih banyak lagi model-model penyelesaian konflik yang lain. Namun demikian, satu hal yang harus diingat adalah setiap konflik memiliki kompleksitas yang berbeda-beda sehingga tidak bisa mengambil salah satu model untuk langsung diterapkan begitu saja untuk menyelesaikannya. Harus dipahami secara sungguh-sungguh kerumitan dan kompleksitas konflik yang akan dicari jalan keluarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar